Tanah Marginal
1.Apa arti tanah marginal ?
Jawab:
Di Indonesia lahan marginal dijumpai baik pada lahan basah
maupun lahan kering. Lahan basah berupa lahan gambut, lahan sulfat masam dan
rawa pasang surut seluas 24 juta ha, sementara lahan kering kering berupa tanah
Ultisol 47,5 juta ha dan Oxisol 18 juta ha (Suprapto, 2003). Indonesia memiliki
panjang garis pantai mencapai 106.000 km dengan potensi luas lahan 1.060.000
ha, secara umum termasuk lahan marginal. Berjuta-juta hektar lahan marginal
tersebut tersebar di beberapa pulau, prospeknya baik untuk pengembangan
pertanian namun sekarang ini belum dikelola dengan baik. Lahan-lahan tersebut
kondisi kesuburannya rendah, sehingga diperlukan inovasi teknologi untuk
memperbaiki produktivitasnya.
Tanah marginal atau “suboptimal” merupakan
tanah yang potensial untuk pertanian, baik untuk tanaman pangan, tanaman
perkebunan maupun tanaman hutan. Secara alami, kesuburan
tanah marginal tergolong rendah. Hal ini ditunjukkan oleh reaksi
tanah yang masam, cadangan hara rendah, basa-basa dapat tukar dan kejenuhan
basa rendah, sedangkan kejenuhan aluminium tinggi sampai sangat tinggi. Namun,
Krantz (1958) mengemukakan bahwa penilaian produktivitas suatu lahan bukan
hanya berdasarkan kesuburan alami (natural fertility), tetapi
juga respons tanah dan tanaman terhadap aplikasi teknologi pengelolaan lahan
yang diterapkan. Melalui perbaikan teknologi pengelolaanlahan, produktivitas
suatu lahan dapat ditingkatkan secara signifikan dibandingkan dengan kondisi
kesuburan tanahnya yang secara alami rendah. Namun, dalam beberapa decade
terakhir, penilaian kesuburan tanah justru didasarkan pada kesuburan alami (natural
fertility). Dalam kegiatan survei dan pemetaan tanah pada awal tahun
1960-an yang dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian Tanah, yang sekarang berubah
nama menjadi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian
(BBSDLP), penilaian kelas kemampuan wilayah hanya didasarkan pada kualitas atau
karakteristik tanah secara alami (virgin soil). Namun, sejak tahun
1970-an, penilaian kelas kesesuaian lahan dilakukan dari dua arah, yaitu
berdasarkan kondisi teknologi yang diterapkan saat ini (actual suitability)
dan kondisi teknologi dengan perbaikan disesuaikan dengan kualitas dan
karakteristik lahannya (potential suitability).
Tanah marginal lahan kering di Kalimantan
terbentuk dari batuan sedimen masam, yang dicirikan oleh cadangan hara yang
tergolong sangat rendah. Batuan sedimen masam adalah batuan permukaan (eksogen)
yang menempati volume 5% kerak bumi (daratan dan lautan). Batuan ini menjadi
penting karena menutup hingga 75% permukaan bumi (Faucult dan Raqult 1984).
Sifat batuan sedimen masam bervariasi karena pembentukannya bergantung pada
sifat alami bahan pembentuknya, proses atau model pengendapan, dan kondisi
lingkungan daerah pengendapan.
Berdasarkan Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi
Indonesia, penyebaran tanah dari batuan sedimen masam di Indonesia mencapai
40,10% atau 75,48 juta ha (Puslittanak 2000). Di Kalimantan, diperkirakan
penyebaran tanah ini mencapai luas 30,15 juta ha atau 57,22% dari luas pulau,
dengan jenis tanah utama terdiri atas Ultisols, sedikit Inceptisols, dan
Oxisols (Subagyo et al. 2000). Tanah ini sebagian besar digunakan untuk
tanaman perkebunan, antara lain karet, kelapa sawit, lada, kopi, dan hutan
tanaman industri. Berdasarkan data BPS (2004), luas lahan perkebunan di
Kalimantan mencapai 4,83 juta ha, sehingga perluasan areal pertanian pada tanah
ini masih mungkin dilakukan.Tulisan ini membahas tanah marginal lahan kering
dari batuan sedimen masam di Kalimantan, yang meliputi penyebaran,
karakteristik tanah, dan potensinya untuk pertanian. Wilayah Kalimantan yang
berbatasan dengan Malaysia dan Brunei Darussalam, sebagian besar merupakan
lahan marginal yang perlu segera dimanfaatkan dalam rangka pengembangan wilayah
perbatasan.
2.Usaha apa yang di
lakukan untuk memperbaiki tanah marginal tersebut ?
Jawab :
Bertani di lahan gambut harus dilakukan
secara hati-hati karena menghadapi banyak kendala antara lain kematangan dan
ketebalan gambut yang bervariasi, penurunan permukaan gambut, rendahnya daya
tumpu, rendahnya kesuburan tanah, dan pH yang sangat masam. Selama ini, untuk
mengatasi kendala kesuburan lahan gambut pada umumnya dilakukan pemberian abu
bakaran gambut, kapur dan pemberian pupuk kimia. Penggunaan abu bakaran gambut
sebagai amelioran sangat tidak dianjurkan karena jika dilakukan terus menerus
gambut akan menipis sehingga fungsi gambut sebagai pengatur air/hidrologi,
sarana konservasi keanekaragaman hayati serta sebagai penyerap dan penyimpan
karbon yang mampu meredam perubahan iklim global akan berkurang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar